Pati Memanas, Berawal Dari Kenaikan Pajak Hingga Tantangan Kepada Rakyat

Baru baru ini, beranda saya dipenuhi dengan viralnya huruhara yang terjadi di kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Cukup menarik perhatian saya memang, mulai dari kenaikan pajak yang kurang bijak, hingga tantangan dari seorang pemimpin terhadap rakyatnya.

Kebijakan ini muncul dari Pemerintah Kabupaten Pati sebagai bagian dari intensifikasi pajak. Menurut Bupati Sudewo, penerimaan PBB Pati selama ini memang kalah jauh dibanding daerah lain. Tujuannya untuk menambah pemasukan daerah.

Tapi, masalahnya, kenaikan ini terlalu besar, apalagi untuk daerah yang mayoritas warganya adalah petani, pedagang kecil, dan pekerja sektor informal. Ya, bagi mereka sih seperti sudah jatuh, tertimpa tangga.

Yang bikin suasana makin panas, pernyataan Bupati di salah satu forum justru terdengar seperti tantangan. Katanya, “5.000 silakan, 50.000 massa silakan.”

Waah, ya jelas, Kalimat ini ditangkap warga sebagai ajakan adu kuat, bukan meredam ketegangan. Sejak itu, seruan untuk turun ke jalan jadi semakin masif. Muncullah Aliansi Masyarakat Pati Bersatu yang mengoordinasi aksi.

Lucunya, saat saya melihat beberapa liputan, warga sampai menyiapkan kardus-kardus air mineral di alun-alun. Ada yang bilang ini untuk bekal peserta demo, ada juga yang menyebutnya simbol gotong royong rakyat Pati. Bahkan bendera bajak laut “One Piece” sempat berkibar di sekitar Pendopo—entah sebagai lelucon atau simbol perlawanan.

Tanggal 8 Agustus 2025, Bupati akhirnya mengumumkan bahwa kenaikan pajak dibatalkan. Tarif kembali seperti tahun 2024, dan selisih pembayaran akan dikembalikan lewat BPKAD dan pemerintah desa. Kalau sudah dibatalkan, harusnya demo bubar, kan?

Tapi, Ternyata tidak, saudara-saudara.

Warga menganggap masalahnya bukan cuma soal angka pajak. Ini soal sikap pemimpin, soal komunikasi publik yang dianggap merendahkan, dan soal kebijakan-kebijakan lain yang menumpuk, pemutusan hubungan kerja honorer RSUD tanpa pesangon, regrouping sekolah tanpa sosialisasi, hingga prioritas proyek pembangunan yang dinilai tidak tepat.

Baca juga:  Menggugat Tradisi Ospek, Saatnya Reformasi Orientasi Mahasiswa

Puncaknya, 13 Agustus 2025 (Hari ini) puluhan ribu orang tumpah ruah ke pusat kota Kabupaten Pati. Aparat menurunkan ribuan personel gabungan untuk mengamankan. Awalnya damai, tapi eskalasi naik ketika sebagian massa mulai melempari botol air mineral ke Pendopo, pagar dirusak, dan satu mobil provost dibakar. Aparat akhirnya menembakkan gas air mata.

Ini Kalau kita lihat dari kacamata publik, aksi ini jadi semacam tes awal bagi pak Bupati yang baru dilantik 18 Juli 2025 lalu. Namun, Sayangnya, tes ini langsung level sulit.

Dan yang jelas, satu pelajaran penting dari peristiwa ini adalah, kebijakan publik itu tidak bisa hanya dilihat dari sisi angka atau potensi pendapatan daerah. Harus ada empati, komunikasi, dan kesediaan mendengar aspirasi.

Pertanyaannya sekarang, apakah demo besar ini akan berujung pada perubahan nyata, atau akan berlalu begitu saja tanpa tindak lanjut yang berarti?

Waktu yang akan menjawab. Yang pasti, hari Rabu, 13 Agustus rakyat Pati menunjukkan bahwa mereka tidak hanya mau didengar—mereka juga mau dihormati sebagai rakyat, pemilik kedaulatan tertinggi.<


Diterbitkan

dalam

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *