Chito Laksilf, terlahir sebagai Dwi Citolaksono di Bandung pada 31 Januari 2003, adalah sosok multidimensi yang membuktikan bahwa keterbatasan fisik tak pernah membatasi mimpi.
Pria yang akrab disapa Chito ini kini dikenal sebagai freelancer web developer, mantan penyiar radio, dan aktivis disabilitas Netra.
Sebuah perjalanan yang berawal dari keraguan orang-orang di sekitarnya akan kemampuannya menguasai teknologi.
Ada sesuatu yang menarik dari sosok Dwi Citolaksono—atau lebih akrab disapa Chito Laksilf.
Mungkin nama itu belum terlalu dikenal di lingkaran besar, tapi bagi mereka yang pernah berinteraksi dengannya, Chito adalah bukti nyata bahwa keterbatasan fisik sama sekali tidak berkorelasi dengan keterbatasan berpikir, berkarya, atau memberi manfaat.
Chito kecil tumbuh dengan stigma yang sering dilekatkan pada anak-anak disabilitas, “Dia tidak akan bisa mengoperasikan teknologi.” Tapi siapa sangka, anak yang dulu dianggap tidak akan pernah paham komputer itu, kini justru menjadi salah satu penggerak literasi digital bagi teman-teman seperjuangannya.
Meski, skalanya belum besar skala nasional, apalagi mendunia.
Chito tidak ingat kapan persisnya ia mulai tertarik dengan teknologi. Yang ia tahu, sejak kecil, ia selalu penasaran dengan bagaimana sesuatu bekerja—entah itu radio, komputer, atau ponsel.
Di tengah pandangan meragukan dari sebagian orang, ia justru menemukan motivasi.
Jika ada satu hal yang menonjol dari Chito semasa sekolah di SLBN-A Pajajaran, itu adalah kemampuannya memimpin dan beradaptasi. Dari Bidang Kependidikan OSIS, ia naik hingga menjadi Ketua OSIS—bahkan dua periode berturut-turut.
Tapi bukan hanya organisasi. Dunia sastra juga menjadi bagian dari hidupnya.
Puisi-puisinya tidak sekadar rangkaian kata, melainkan cerita tentang perjuangan, harapan, dan kegigihan.
Prestasinya dalam berbagai lomba cipta baca puisi—dari tingkat kota hingga nasional—membuktikan bahwa ia tidak hanya pandai mengutak-atik teknologi, tapi juga mahir merangkai emosi dalam bait-bait kata.
Chito bukan tipe orang yang hanya pintar teori. Ia menerapkan ilmunya secara nyata. Ketika pandemi melanda dan pembelajaran daring menjadi tantangan besar bagi siswa disabilitas, ia menjadi salah satu inisiator penggunaan aplikasi TeamTalk dan radio streaming di sekolahnya.
Ia juga aktif di berbagai Organisasi dan komunitas, seperti DPD Pertuni Jawa Barat (2021-2024) Blind Media Technology, Pendiri Blind Stream Radio (Diusia yang cukup muda) , dan kini menjabat sebagai Ketua Yayasan Peduli Disabilitas Netra, di mana ia tidak hanya berkontribusi sebagai pengurus, tapi juga sebagai mentor bagi anggota baru.
Bicara dengan Chito, kita akan segera menyadari bahwa prinsip hidupnya kuat tertanam. Ia sering mengutip hadits: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
Dan itu bukan sekadar kata-kata—ia mewujudkannya dalam tindakan.
Baginya, ilmu tanpa adab adalah sia-sia. “Bisa saja seseorang sangat pandai, tapi jika tidak punya etika, ilmunya justru bisa jadi bencana,” ujarnya.
Saat ini, Chito adalah mahasiswa Pendidikan Luar Biasa di Universitas Islam Nusantara. Ada ironi kecil di sini: ia yang begitu mencintai teknologi justru mengambil jurusan pendidikan.
Hal itu disebabkan karena kebimbangannya, saat memilih jurusan. Disamping tekanan dari lingkungan sekitarnya.
Di luar kampus, ia tetap produktif—menjadi freelancer web developer, konten kreator, podcaster, penulis, pembicara atau penceramah, dan aktif di yayasan peduli disabilitas Netra.
Chito Laksilf mungkin tidak akan menggembar-gemborkan pencapaiannya sendiri. Tapi jika kita melihat perjalanannya, satu hal yang jelas: ia adalah bukti bahwa keterbatasan fisik tidak pernah bisa menghentikan seseorang yang punya tekad, kecerdasan, dan hati yang besar.
Seperti kata-katanya sendiri:
Lebih baik dalam keterbatasan yang mulia, daripada dalam kesempurnaan yang hampa.
Dan Chito? Ia memilih untuk hidup mulia—dengan caranya sendiri.