Assalaamu’alaykum. Halo, gessss
Jadi, beberapa hari yang lalu, saya terlibat diskusi serius dengan beberapa rekan di sebuah grup WhatsApp, tentang produk produk Apple, specificly IPhone.
Mulanya, saya iseng bertanya, adakah yang menjual IPhone bekas? Lalu, pembicaraan melebar hingga bagaimana cara bisnis Apple dalam memasarkan produknya, dan bisnisnya bertahan hingga saat ini, dengan income yang bagus.
Akhirnya, saya punya gagasan untuk mengulas cara bisnis IPhone melalui tulisan ini.
Kalau ngomongin Apple, nggak cuma sekadar “iPhone mahal” atau “Mac buat anak kreatif”.
Ini cerita tentang bagaimana sebuah perusahaan bisa membangun kerajaan teknologi dengan memainkan psikologi manusia, teori ekonomi, dan strategi bisnis yang bikin kita—sebagai konsumen—enggan kabur, meski harganya bikin kantong jebol.
Nih Buat Yang Pake Produk Apple
Pernah ngerasa susah pindah dari iPhone ke Android? Atau mikir dua kali beli laptop Windows karena MacBook lebih “klop” sama iPhone?
Itu bukan kebetulan. Apple sengaja membangun ekosistem tertutup yang bikin kita ketergantungan.
Teori lock-in effect menjelaskan fenomena ini, begitu kita masuk ke dunia Apple, biaya untuk pindah baik finansial (beli aplikasi baru, langganan ulang) maupun emosional (kehilangan fitur eksklusif seperti AirDrop atau iMessage)—terasa terlalu besar .
Contoh simpel: kalo kita udah beli ratusan lagu di Apple Music atau puluhan aplikasi di App Store, pindah ke Android artinya mulai dari nol. Dan Apple tahu betul cara memanfaatkan ini.
Gila nggak, tuch?
Yang lebih cerdas lagi, mereka menciptakan network effect, makin banyak orang pakai iMessage, makin nggak enak kalo kita pindah ke platform lain.
Di AS, di mana iMessage dominan, remaja bisa dikucilkan di grup chat kalo pake Android—fenomena yang dijuluki “green bubble shaming” .
Bisa gitu, ya?
Harga Mahal? Justru Itu Strateginya
Kenapa Apple bisa jual iPhone dengan harga selangit, padahal speknya kalah sama Android? Ini ada kaitannya dengan Veblen Goods, barang yang justru makin laku karena harganya mahal, karena dianggap sebagai simbol status.
Tapi mahal saja nggak cukup. Apple juga piawai memicu FOMO (Fear of Missing Out).
Setiap peluncuran produk, mereka selalu menyoroti upgrade minor seolah-olah revolusioner.
“Chip M4 20% lebih cepat!” atau “Kamera 48MP yang lebih canggih!”—padahal buat rata-rata pengguna, bedanya mungkin nggak kerasa. Tapi kita tetap tergoda, karena takut ketinggalan “pengalaman terbaru” .
Bisnis Layanan Yang Menjadi Sumber Uang Yang Mengalir
Apple nggak cuma jual hardware. Mereka juga punya bisnis layanan (iCloud, Apple Music, Apple TV+) yang jadi mesin uang tersembunyi.
Ini mirip dengan Razor and Blades Model, untung besar nggak datang dari penjualan produk utama (iPhone sama dengan pisau cukur), tapi dari langganan dan aksesori (layanan sama dengan pisau cukurnya) .
ICloud misalnya, Awalnya cuma penyimpanan 5GB gratis. Begitu foto dan file membludak, kita terpaksa langganan 50GB/Rp 14.000/bulan.
Atau App Store, Apple ambil 30% dari setiap transaksi. Game seperti Genshin Impact yang menghasilkan $1 miliar di App Store berarti ngasih Apple $300 juta .
Bahkan buat perusahaan, Apple punya Apple Business Manager, platform yang memudahkan manajemen perangkat dan pembelian aplikasi massal.
Lagi-lagi, dengan biaya langganan .
Selogan Think Different” atau “Think Like Us?
Apple selalu bangga dengan slogan “Think Different”, tapi ironisnya, mereka justru ingin kita “Think Like Apple”.
Mereka menciptakan kebutuhan yang sebelumnya nggak ada:
Apple Watch contohnya, Awalnya cuma jam pintar biasa. Sekarang dipasarkan sebagai alat kesehatan (cek EKG, deteksi jatuh, pelacak tidur), bikin kita merasa “butuh” .
AirTag contoh lainnya,, Sebelumnya, siapa yang mikir butuh pelacak buat dompet atau kunci? Tapi Apple bikin itu terasa esensial .
Strategi ini sesuai dengan Jobs to be Done Theory, produk sukses bukan karena fiturnya, tapi karena bisa menyelesaikan “tugas” spesifik buat konsumen—bahkan sebelum konsumen sendiri sadar mereka butuh itu .
Privasi vs. Kontrol, Dilema Apple.
Apple gencar promosi privasi sebagai nilai jual. Mereka bilang nggak jual data pengguna, dan iMessage dienkripsi end-to-end. Tapi di saat yang sama, mereka mengontrol ketat ekosistemnya.
App Store, Semua aplikasi harus lewat persetujuan Apple, dan mereka bisa hapus kapan saja.
Pembatasan Sisi Pihak Ketiga, Di iOS, kita nggak bisa instal aplikasi dari luar App Store (sideloading) tanpa jailbreak, suatu kebijakan yang sekarang diprotes regulator Uni Eropa .
Ini menunjukkan paradoks: Apple menjual privasi, tapi juga mempertahankan walled garden (taman berpagar) agar pengguna tetap di dalam ekosistem mereka.
Keren nggak, tuh?
Kenapa Kita Terus Beli Padahal Mahal
Karena Apple nggak cuma jual produk, mereka jual rasa aman, gaya hidup, dan kemudahan. Sekali kita masuk ke dunia mereka, keluar terasa ribet. Dan itulah kekuatan bisnis Apple: membuat kita terjebak dengan senang hati.
Seperti kata Steve Jobs:
You don’t know what you want until we show it to you. Kamu tidak tahu apa yang kamu inginkan sampai kami menunjukkannya padamu.
Dan Apple memang ahli dalam menunjukkan—bahwa kita “butuh” sesuatu yang bahkan belum terpikirkan.
Gimana, menurut kalian?
Hebat nggak, cara bisnisnya?
Tinggalkan Balasan