Kata “inklusif”, atau inklusi, acapkali terdengar di ruang-ruang pendidikan. Ia menjadi jargon yang ramai dikutip dalam seminar, disematkan dalam visi misi institusi, bahkan dikampanyekan secara visual dalam brosur dan media sosial.
Namun, ironinya, semakin sering kata ini diucapkan, semakin terasa jauh maknanya dari realita yang terjadi di lapangan.
Inklusif sejatinya bukan sekadar konsep manis dalam dokumen. Ia adalah bentuk kesadaran moral dan tanggung jawab kolektif.
Ia hadir ketika sistem mampu mengakomodasi keragaman, bukan mempersulitnya.
Inklusif itu dibangun secara aktif, masif, dan kolaboratif, tanpa diskriminatif. Inklusif itu menciptakan solusi, bukan ilusi.
Ketika layanan pendidikan tidak hanya ramah bagi mayoritas, tapi juga benar-benar terjangkau oleh mereka minoritas yang berada di luar lingkaran kemudahan—termasuk teman-teman penyandang disabilitas.
Sayangnya, inklusif masih kerap diartikan sebagai acara seremonial, alih-alih menjadi prinsip kerja yang melekat dalam keseharian.
Banyak institusi pendidikan yang merasa sudah cukup inklusif hanya karena menerima disabilitas di lingkungan mereka. Walau, sebenarnya menerima saja tidak cukup, tanpa mengakomodir kebutuhan mereka.
Inklusif juga mencakup sistem informasi, layanan administratif, pola komunikasi, hingga sikap empatik dari seluruh ekosistem kampus.
Masih banyak ruang yang belum ramah. Banyak proses yang secara tidak langsung membebani kelompok disabilitas.
Di satu sisi, teknologi sudah membuka peluang besar—dari pembaca layar, platform digital, hingga sistem daring yang mudah diakses.
Namun di sisi lain, ada kalanya sistem yang justru tetap berjalan di atas rel lama, formulir manual, koordinasi mendadak tanpa kejelasan, atau prosedur administratif yang hanya mempertimbangkan mereka yang bisa melihat, mendengar, dan bergerak tanpa hambatan.
Bukankah ini kontradiksi yang aneh? Ketika dunia luar berlari menuju era aksesibilitas digital, sebagian institusi pendidikan masih berkutat dengan berkas-berkas fisik dan tanda tangan basah—seolah lupa bahwa kemajuan teknologi semestinya juga dimanfaatkan untuk memperluas inklusi.
Inklusif bukan berarti semua orang diperlakukan sama, tetapi semua orang diberikan kesempatan yang setara.
Di situlah tantangannya, bagaimana sistem bisa lentur menyesuaikan, tanpa kehilangan ketertiban.
Bagaimana institusi bisa mendengar kebutuhan yang sunyi, bukan hanya merespons tuntutan yang riuh.
Tulisan ini bukan untuk menyalahkan, melainkan mengajak, mari berhenti menjadikan inklusivitas sebagai simbol, dan mulai menjadikannya sebagai sistem kerja yang hidup.
Karena pada akhirnya, inklusi yang sejati bukan terlihat dari seberapa sering kita menyebutnya, tapi seberapa kuat kita menjadikannya nyata.
Mari, wujudkan inklusif secara aktif dan masif, dengan kolaboratif, tanpa diskriminatif.
Tinggalkan Balasan