Saya sedikit dikejutkan ketika saya mendapat informasi dari seorang rekan.
“Bro, rekening kita bisa kena blokir nih kalo 3 bulan nggak aktif.
Seketika saya terkejut, dong. Lah kok bisa? Aturan macam apa lagi ini? Akhirnya saya coba cross check diberbagai media pemberitaan online. Ternyata bener aja, dong.
Belakangan ini memang benar muncul wacana dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) yang cukup mengundang perhatian publik.
Dalam pernyataan resminya, PPATK mengusulkan agar rekening bank yang tidak menunjukkan aktivitas transaksi selama tiga bulan bisa diblokir. Alasannya cukup jelas memang, mereka ingin mencegah rekening “tidur” dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan, seperti pencucian uang, penipuan daring, hingga pendanaan terorisme.
Untuk memahami isu ini lebih utuh, yuk coba kita perlu tahu dulu, apa itu PPATK dan apa wewenangnya?
PPATK adalah lembaga intelijen keuangan independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tugas utamanya adalah mengumpulkan, menganalisis, dan menyampaikan informasi terkait transaksi keuangan mencurigakan kepada penegak hukum.
PPATK tidak memiliki wewenang eksekusi seperti kepolisian atau kejaksaan, tapi lembaga ini punya pengaruh besar dalam mendorong regulasi keuangan yang lebih ketat, termasuk menyusun pedoman yang dijalankan oleh institusi keuangan—baik bank milik negara maupun swasta.
Artinya, kalau kebijakan ini benar-benar diadopsi, maka semua jenis bank, termasuk bank swasta, BUMN, bank syariah, hingga BPR, sepertinya akan bisa terkena imbasnya karena pada dasarnya semua institusi keuangan terdaftar wajib tunduk pada prinsip pelaporan dan pengawasan yang dirumuskan PPATK dan otoritas seperti OJK dan Bank Indonesia.
Sebetulnya memang ya, Sekilas, gagasan ini tampak masuk akal, apalagi mengingat banyaknya kasus rekening pinjaman online, penampungan dana gelap, dan akun bodong yang beredar bebas.
Namun, jika kita telaah lebih jauh, kebijakan ini berpotensi menimbulkan masalah baru, khususnya bagi masyarakat awam yang tidak memahami aturan teknis perbankan.
Pertama, menurut saya sih tidak semua rekening pasif berarti mencurigakan. Banyak orang yang secara sengaja memiliki rekening cadangan untuk keperluan tertentu, seperti menabung untuk biaya pendidikan, rekening khusus untuk bisnis musiman, atau bahkan rekening yang masih digunakan secara periodik namun tidak intensif.
Tiga bulan tanpa transaksi bukan berarti rekening tersebut ‘mangkrak’ atau ‘bermasalah’. Aktivitas finansial setiap orang tidak bisa digeneralisasi hanya dari frekuensi transaksi tiga bulan, empat bulan, 6 bulan atau setahun.
Di sinilah kita juga perlu bertanya. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “tidak aktif”? Apakah hanya karena tidak ada transaksi besar?
Ternyata, dalam konteks ini, yang dimaksud dengan transaksi mencakup semua bentuk aktivitas finansial seperti tarik tunai di ATM, setor tunai, transfer keluar, transfer masuk, pembayaran digital (seperti e-commerce atau QRIS), dan bahkan transaksi kecil seperti top-up e-wallet.
Artinya, kalau selama tiga bulan benar-benar tidak ada aktivitas sama sekali—baik masuk maupun keluar—barulah akun dikategorikan pasif.
Kedua, dari sudut pandang konsumen, kebijakan ini terkesan terburu-buru. Jika tanpa pendekatan yang tepat dan komunikasi yang menyeluruh, masyarakat justru akan kehilangan rasa aman dalam mempunyai rekening bank.
Ada kekhawatiran bahwa rekening bisa diblokir sewaktu-waktu hanya karena sedang tidak digunakan untuk sementara waktu. Apalagi jika proses pemblokiran ini bersifat otomatis atau minim verifikasi dari pihak bank.
Selain itu, ada potensi salah sasaran. Kita tidak bisa menutup mata bukan, bahwa sistem pengawasan perbankan di Indonesia belum sepenuhnya bebas dari kesalahan.
Prosedur yang rumit, lambatnya klarifikasi dari pihak bank, hingga proses pemulihan rekening yang diblokir bisa menjadi beban tambahan bagi nasabah yang tidak bersalah. Masyarakat akan semakin enggan menyimpan dan mengelola dana di sistem perbankan formal jika mereka merasa selalu “diawasi” dan rawan disanksi.
Kekhawatiran lain yang perlu diperhatikan adalah munculnya persepsi bahwa setiap nasabah harus aktif secara transaksional agar dianggap legal atau bersih. Padahal, prinsip dasar perbankan adalah memberikan ruang bagi nasabah untuk mengelola keuangan sesuai kebutuhan dan kenyamanan mereka—bukan dengan tekanan untuk selalu aktif.
Tentu, kita semua mendukung upaya pemerintah dalam melawan kejahatan keuangan. Namun, kebijakan seperti ini harus diimbangi dengan pendekatan yang adil, transparan, dan mempertimbangkan konteks sosial masyarakat. Jangan sampai, niat baik menutup celah kriminal justru menimbulkan rasa tidak percaya publik terhadap sistem perbankan yang ada.
Jadi, apakah kebijakan ini benar-benar solusi yang efektif? Atau justru berisiko memunculkan persoalan baru yang lebih kompleks?
Silakan renungkan, dan mari kita jaga agar setiap kebijakan publik tidak hanya kuat secara hukum, tetapi juga bijak secara sosial.
Tinggalkan Balasan