LMKN Tagih Royalti, Suara Musik Tak lagi Terdengar Di Cafe

Saya sempat berpikir, kok tiba-tiba ramai soal LMKN menarik royalti dari pemilik kafe dan pengusaha lainnya? Awalnya saya juga bingung, Kenapa kita harus bayar lagi untuk musik di kafe?

Tapi setelah saya coba baca beberapa media, semuanya jadi jelas—dan memang bikin geleng-geleng kepala.

Ternyata, LMKN memang bukan tiba-tiba menarik royalti.

Ternyata saya juga baru tahu, aturan ini sudah berjalan hampir 10 tahun, sejak keluarnya SK Menkumham No. 2016. Correct Me if I’m wrong!

Jadi, memang bukan peraturan yang baru yang tiba-tiba bikin heboh—tapi pas aturannya mulai ditegakkan, barulah kehebohan dimulai.

Inti masalahnya sih, siapa yang selama ini bayar royalti di tempat usaha?

Jawabannya ya, pemilik usaha, bukan penyanyi atau musisinya.

LMKN sebagai lembaga resmi yang diberi mandat oleh UU Hak Cipta dan PP tentang pengelolaan royalti, bertugas menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti atas pemutaran musik di tempat komersial seperti kafe, restoran, seminar, bioskop, dan sebagainya.

Biaya royalti per tahunnya ternyata cukup terjangkau (Bagi yang mampu 🙂 ), yaitu sekitar Rp120.000 per kursi per tahun, setengahnya untuk pencipta lagu, setengahnya lagi untuk hak terkait seperti produser.

Untuk UMKM, tersedia juga skema keringanan atau pembebasan. Correct Me if I’m wrong!

LMKN juga menegaskan, jangan mikir bisa meloloskan diri dengan memutar musik alam seperti suara burung atau gemericik air. Itu juga harus bayar royalti karena produser fonogram tetap punya hak. Bahkan jika kafe yang membuat rekaman sendiri, royalty tetap berlaku. Buat saya sih, pernyataan ini memang cukup ngeri, seolah ngejar ngejar pengusaha, demi tagihannya dibayar. Wajar aja, mereka megap megap.

Baca juga:  Menggugat Tradisi Ospek, Saatnya Reformasi Orientasi Mahasiswa

Oh tentu saja, Respons dari pemilik usaha jelas heboh. Beberapa memilih berhenti memutar musik di usahanya, karena merasa tarif membebani, apalagi di tengah persaingan bisnis yang ketat. Mereka khawatir usahanya jadi tidak efisien. Uniknya, ada juga yang buat musik pakai AI, dengan harapan gak akan ditagih lagi.

Tak berhenti di situ, Ketua PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) bahkan menyebut kinerja LMKN itu “ugal-ugalan seperti preman”—kena surat tagihan tiba-tiba, transparansi minim, dan aturan yang terasa dipaksakan. Ya, wajar aja sih, saya juga menangkap kesan yang sama tentang LMKn ini.

Alhamdulillah nya, DPR dan pemerintah merespons dengan upaya revisi Undang-Undang Hak Cipta serta perbaikan atas sistem LMK/LMKN agar lebih adil, transparan, dan tidak memberatkan pelaku usaha kecil.

Menteri Ekonomi Kreatif menekankan bahwa royalti boleh dibayar—asal ada akuntabilitas dan transparansi, sehingga dana benar-benar sampai ke pencipta yang berhak.

Nah, itu baru ok. Maap maap, pak. Urusan uang memang harus transparan, sih, hehehe.

Semoga saja segera ada solusi yaa, dari polemik ini. Memang, kemarin ketika saya ngopi di cafe, suara musik tak lagi terdengar. Sunyi, hanya kesunyian. Nampaknya masalah royalti ini sudah menjadi momok paling menakutkan bagi pengusaha.


Diterbitkan

dalam

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *