Setiap 17 Agustus, kita merayakan peringatan kemerdekaan Indonesia. Jalanan penuh bendera yang berkibar, anak-anak lomba, suara sirine upacara detik detik proklamasi menggema.
Memang, Meriah, dan ya, memang semestinya begitu. Tapi kalau kemerdekaan hanya berakhir pada panggung hiburan dan unggahan media sosial, ahhhh, kita sedang mengkerdilkan arti kemerdekaan yang dulu diperjuangkan dengan darah. Peringatan seharusnya bukan hanya perayaan; ia adalah pemaknaan.
Pertanyaan yang wajib kita ajukan, Merdeka dari apa, untuk apa, dan bagi siapa? Kemerdekaan itu Sebagai Proses, Bukan Titik Finish
Merdeka itu tidak berhenti hanya sampai di Proklamasi saja, ia berjalan di pasar yang harga-harganya harus masuk akal, di sawah dan pabrik yang upahnya layak, di sekolah yang benar-benar membuka masa depan.
Kemerdekaan adalah janji yang harus ditepati terus-menerus. Maka, sebetulnya menjadi wajar, kalau peringatan tiap tahun menjadi momen audit moral. Sejauh mana janji itu ditepati?
Merdeka Itu Bebas dari Kemiskinan yang Diturunkan
Bebas yang paling terasa adalah bebas dari cemas besok makan apa. Kemiskinan yang menahun bukan sekadar angka, ia luka yang diwariskan turun temurun.
Pemaknaan kemerdekaan menuntut kebijakan yang membuat rakyat berdaya, harga kebutuhan pokok yang stabil, layanan kesehatan yang terjangkau, pendidikan yang benar-benar membuka mobilitas sosial.
Ukurannya sederhanasaja, apakah orang kecil hari ini lebih mudah mengubah nasibnya dibanding kemarin?
Pajak Yang Adil
Pajak itu penting, ia bahan bakar negara. Tapi pajak yang melambung tinggi tanpa keadilan, tanpa dialog, dan tanpa transparansi akan terasa seperti beban, bukan gotong royong.
Pemaknaan kemerdekaan mengharuskan kita menata pajak agar progresif, proporsional, dan partisipatif. Rakyat mau patuh kalau merasa dilibatkan, paham ke mana uangnya pergi, dan melihat layanan publik yang nyata balik pada mereka, rakyat.
Keamanan Itu Melindungi, Bukan Menakut-nakuti
Negara hadir untuk membuat kita merasa aman, bukan gentar. Ketika aparat menekan warga hanya karena mengekspresikan pendapat, entah lewat tulisan, musik, atau simbol-simbol kritik, yang retak bukan hanya wibawa negara sebenarnya, melainkan kepercayaan publik.
Pemaknaan kemerdekaan menuntut keamanan berwajah manusiawi, profesional, proporsional, dan terbuka pada dialog.
Kritik itu bukan musuh; ia vitamin demokrasi. Demokrasi itu Hak Bersuara Tanpa Dikriminalisasi.
Kita terkadang tidak selalu sepakat, dan ya, itu sehat. Demokrasi itu memberi ruang untuk tidak setuju, untuk protes damai, untuk mengibarkan simbol-simbol yang (kadang) membuat penguasa tidak nyaman. Selama tidak menghasut kebencian atau kekerasan, ekspresi politik adalah hak, bukan kejahatan.
Merdeka artinya berani bicara tanpa takut dibungkam, dan berani mendengar tanpa buru-buru menuduh.
5 Pilar Pemaknaan Kemerdekaan
Agar peringatan tidak menguap jadi seremoni, kita butuh kerangka sederhana, acuan yang bisa dipakai warga, pejabat, maupun aparat.
- 1. Martabat Manusia
Setiap kebijakan wajib menjawab: apakah ini menjaga martabat orang kecil? Apakah layanan publik memudahkan orang tua, penyandang disabilitas, buruh, petani, nelayan? Kalau tidak, revisi. Wajib itu hukumnya.
- 2. Keadilan Sosial
Redistribusi bukan slogan. Anggaran harus berpihak: pendidikan bermutu, kesehatan terjangkau, infrastruktur yang menghubungkan yang terpencil, bukan hanya memperindah yang sudah mewah.
- 3. Negara Hukum
Hukum jadi pagar yang sama tingginya untuk semua. Penegakan tanpa tebang pilih: tegas pada korupsi dan kejahatan yang merugikan banyak orang, lembut dan mendidik pada ekspresi damai warga.
- 4. Demokrasi Substantif
Partisipasi bukan sekadar hadir di TPS; ia hadir dalam musyawarah RT/RW, konsultasi publik, uji kebijakan yang transparan. Pemerintah kuat bukan yang tak pernah dikritik, tapi yang mampu memperbaiki diri setelah mendengar kritik.
- 5. Kemandirian Ekonomi dan Budaya
Merdeka artinya berdaulat mengatur pangan, energi, data, dan narasi. Ekonomi tumbuh tanpa mengorbankan lingkungan; budaya tumbuh tanpa membungkam kreativitas dan humor rakyat—bahkan saat humor itu menyentil kekuasaan.
Dari Simbol ke Substansi
Bendera, upacara, lagu-lagu perjuangan, semua itu memang penting sebagai pengingat.
Tapi substansinya lahir di ruang-ruang kecil, ketika petugas pajak lebih banyak menerangkan daripada mengancam, ketika polisi mengawal demo damai, bukan membubarkannya; ketika pemerintah daerah maupun pusat memilih dialog sebelum menerbitkan aturan yang mengubah hidup banyak orang.
Penutup
HUT kemerdekaan seharusnya memperkuat ingatan kita pada janji: membebaskan dari kemiskinan yang mengikat, dari pajak yang menindih, dari rasa takut saat menggunakan hak demokrasi. Kalau peringatan hanya jadi pesta, kita mengulang kesalahan. Kalau peringatan jadi pemaknaan, kita selangkah lebih dekat pada Indonesia yang bukan hanya merdeka di atas kertas, tapi terasa merdeka di dada. Artinya pula, kita hebat.
Tinggalkan Balasan