PTN VS PTS, Gengsi Atau Pilihan Rasional?

Assalaamu’alaykum. Halo guys.

Kali ini, kita kesampingkan dulu pembahasan teknologi. Sekarang, saya mau lebih serius sedikit

Akhir-akhir ini, musim masuk perguruan tinggi sudah dijelang lulusan SMA, SMK, SLB/Sederajat, dengan berbagai langkah tahapan.

Dimulai dari SNBP (Seleksi Nasional Berbasis prestasi) , hingga SNBT (Seleksi Nasional Berbasis Tes) Correct me if i’m Wrong!

Maklum, di negeri ini terlalu banyak akronim yang maksudnya sama, tapi setiap tahun berubah, demi gengsi. Ups…

Bahkan, ada juga mereka yang mengejar hingga mengikuti proses masuk PT (Perguruan Tinggi) secara mandiri, yang modalnya kadang nggak kira-kira.

Tapi, esensi dari masuk perguruan Tinggi ini apa, sih?

Ayo, biar saya bedah buat kita semua. Tulisan ini, dibuat tanpa bermaksud menjelekan atau mendeskreditkan kelompok, lembaga, atau orang mana pun, tulisan ini dibuat atas keresahan saya yang menghantui tatkala musim masuk perguruan tinggi selalu saja buming.

Inti dari Masalahnya adalah, yang berkuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) lebih terpandang, daripada yang kuliah di PTS (Perguruan Tinggi Swasta) kayak saya:)

Anggapan ini sudah mendarah daging, sampai-sampai orang rela mati-matian masuk PTN meskipun jurusannya nggak sesuai minat, atau bahkan nggak yakin bisa lulus tepat waktu.

Tapi, apa iya mahasiswa PTN pasti lebih pintar, lebih sukses, atau lebih berkualitas daripada yang kuliah di PTS? Atau jangan-jangan, ini cuma soal gengsi dan doktrin sistem pendidikan kita yang terlalu mengagungkan PTN?

PTN emang ngejamin kita sukses, gitu?

Banyak yang mikir, masuk PTN itu otomatis menjamin masa depan cerah. Padahal, realitanya nggak selalu begitu.

Nggak sedikit mahasiswa PTN yang molor kuliahnya, drop out, atau bahkan lulus tapi nggak bisa mikir kritis. Malah, banyak yang cuma jadi “budak akreditasi” – kuliah cuma buat ngejar gelar dari kampus ternama, tanpa benar-benar paham apa yang dipelajari.

Baca juga:  Membedah Strategi Bisnis Apple, Antara Teori Ekonomi Dan Psikologi Pembeli

Seperti kata Bourdieu (1986) dalam teori cultural capital, pendidikan sering jadi alat reproduksi status sosial. Orang masuk PTN bukan selalu karena minat atau kemampuan, tapi karena tekanan sosial biar dianggap “berkelas”. Akhirnya, yang terjadi adalah mahasiswa stuck di sistem yang nggak mereka sukai, tapi bertahan demi gengsi.

Tentu, nggak semua mahasiswa PTN kayak gitu. Ada juga yang emang pinter dan memilih PTN karena pertimbangan akademik. Tapi, masalahnya, stigma “PTN lebih baik” bikin orang lupa bahwa kesuksesan nggak cuma ditentukan oleh nama kampus, tapi juga skill, networking, dan attitude.

Bikin Kesel, Sekolah Memaksa Siswa ke PTN Demi Akreditasi

Fenomena lain yang bikin miris: banyak sekolah ngotot mendorong siswanya masuk PTN, biar akreditasi sekolahnya naik. Sekolah bangga bisa ngasih laporan, “90% siswa kami diterima di PTN!” Tapi, mereka lupa nanya: Emangnya semua siswa itu mau dan mampu kuliah di PTN?

Padahal, banyak faktor yang harus dipertimbangkan:

Seperti dari segi Finansial, PTN aja nggak selalu murah. Uang pangkal, kost, transportasi – bisa jadi lebih mahal daripada PTS yang ada beasiswa.

Bahkan, Kadang, jurusan yang diminati siswa cuma ada di PTS. Misalnya, jurusan game development atau culinary arts yang jarang ada di PTN.

Tidak hanya itu, Beberapa siswa lebih cocok dengan sistem pembelajaran di PTS yang lebih fleksibel.

Menurut saya, Memaksakan siswa masuk PTN cuma buat gengsi sekolah itu nggak etis. Malah bisa bikin siswa salah jurusan, stres, atau bahkan putus kuliah.

Jika ditarik dari fakta di lapangan, beberapa kasus, saya pernah menemukan mereka putus kuliah karna tidak sanggup dengan banyaknya biaya yang harus dikeluarkan, untuk ongkos, akses menuju kampus yang jauh hingga hampir 40 KM, berangkat harus pagi-pagi buta, belum ketika tiba-tiba info terbaru dosen tidak jadi masuk, padahal dia sudah sampai di kampus.

Baca juga:  VPN, Mengenal Fungsi Dan Kegunaannya

Akses ke kampus terpaksa ia tempuh setiap hari kuliah, mengingat biaya ketika harus kost, mahal swekaliii…

Semua itu, demi kuliah di PTN. Apa ini wajar?

Berbanding terbalik dengan saya yang kuliah di swasta, akses menuju kampus tidak jauh, kuliah bisa fleksibel, nggak harus nyubuh berangkat ke kampus, nyaman, walaupun misal dibandingkan akademik saya lebih di bawah kali ya daripada mereka yang kuliah di PTN?

Pendidikan Bukan Sekadar Label

Kualitas seseorang tidak bisa diukur dari PTN atau PTS-nya. Banyak lulusan PTS yang sukses, dan banyak juga lulusan PTN yang nggak berkembang. Daripada terjebak stigma, mending pilih kampus yang sesuai dengan minat, kemampuan finansial, dan tujuan karir.

Seperti dikatakan Tilaar (1999), pendidikan harusnya membebaskan, bukan membelenggu. Kalau kita masih aja menganggap PTN lebih “wah” tanpa pertimbangan rasional, ya kita cuma jadi budak sistem – budak gengsi, budak akreditasi, dan budak opini orang lain.

Semoga, dari tulisan ini, banyak insan yang tergugah pikirannya.

Kuliah dimana saja sama, yang menentukan itu kualitas kita dalam berpikir dan kemauan kita dalam menuntut ilmu yang tidak boleh berhenti.

Semangat, ya, buat semuanya.

Banyak-banyak minta petunjuk sama Allah, pokoknya

Daftar Pustaka

>Bourdieu, P. (1986). The Forms of Capital. In J. Richardson (Ed.), Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education (pp. 241-258). Greenwood Press.
Tilaar, H. A. R. (1999). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. PT Remaja Rosdakarya.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *