Baru-baru ini, beranda FYP dan ruang publik kita diramaikan oleh polemik pengibaran bendera One Piece. Mulai dari jalanan, konser musik, sampai ke lingkungan RT/RW.
Simbol bajak laut topi jerami itu tiba-tiba jadi sorotan nasional. Yang bikin saya geleng-geleng, respon pemerintah dan aparat justru seperti menghadapi ancaman besar negara. Kayak yang takuuuuuut bangettttt.
Awalnya sih, bendera ini cuma jadi ekspresi iseng sekaligus sindiran masyarakat aja. Sopir truk, mahasiswa, sampai warga kampung mulai mengibarkannya, seakan ingin bilang, “kami kecewa, kami bosan.”
Tapi, alih-alih ditanggapi dengan kepala dingin, para pejabat malah bereaksi keras. Ada yang bilang bisa memecah belah bangsa, ada yang menuding sebagai upaya makar.
Buset dah, kayak kejauhan gitu sih, sampe dikata makar segala. Lagian, memecah belahnya darimana? Wong pada kompak, kok, buat mengibarkan bendera OnePiece ini. 😂
Bahkan, imbauan resmi keluar agar RT dan RW melarang warganya mengibarkan bendera One Piece, terutama menjelang 17 Agustus kemaren.
Lucunya, Presiden Prabowo sendiri kabarnya tidak terlalu mempermasalahkan. Yang penting, kata beliau, Merah Putih tetap dikibarkan lebih tinggi. Jadi sebenarnya masalahnya bukan di presiden, tapi justru di “bawah-bawahnya” yang heboh sendiri.
Mereka seolah-olah melihat bendera kartun sebagai ancaman lebih berbahaya daripada maling atau koruptor. Aneh Bin Lucu Bin Ajaib, kan?
Puncak keanehan terjadi di konser RI Fest 2025 beberapa hari yang lalu.
Seorang penonton sedang moshing sambil membawa bendera One Piece. Polisi yang berjaga justru bereaksi dengan cara kasar, ada dugaan pemukulan.
Adegan ini bikin Awan, bassist band .Feast, naik pitam. Dari atas panggung, ia menegur keras aparat: “Kalau maling baru boleh lu pukulin. Kalau orang cuma bawa bendera One Piece, jangan dipukulin.”
Yang bikin hebohnya lagi, Awan mengulti dengan nada satir, “bentar lagi kayaknya guwe ditangkep nih. Ditanyain lokasinya dimana”. 😂
Ucapannya langsung disambut sorakan panjang dari penonton. Jujur, momen ini jadi potret mengejutkan, masyarakat merasa aparat terlalu jauh menekan, sementara masalah yang lebih serius justru dibiarkan.
Jika kita lihat dari kacamata publik, sikap pemerintah ini memang aneh sih dan kontradiktif.
Bendera fiksi dianggap ancaman, tapi pencurian, korupsi, atau pungli seolah tak sebesar itu urgensinya. Wajar kalau publik menganggap tindakan aparat kelewat berlebihan.
Dan di titik inilah sebenarnya pertanyaan besar muncul: apakah negara ini masih sanggup menerima kritik dengan cara damai dan simbolik? Atau kita memang sedang masuk era di mana kreativitas warga dipersekusi, sementara persoalan nyata dibiarkan begitu saja?
Yang jelas, pengibaran bendera One Piece sudah menjelma simbol baru—bukan sekadar fandom anime, tapi suara kecewa yang dibungkam dengan cara yang konyol.
Tinggalkan Balasan